Setiap pagi aku selalu berangkat ke sekolah naik angkot, padahal jaraknya hanya sekitar 800 meter. Dan setelah aku sampai di sekolah pasti temanku di kelas akan bertanya, “kenapa sih kamu selalu kesiangan?”. Ya, itu dia masalahnya. Aku selalu terlambat untuk pergi ke sekolah, entah apa yang aku pikirkan sebelum berangkat ke sekoah tapi aku rasa itu selalu menyenangkan saat memikirkan, membayangkan, dan merasakan banyak hal. Itu terjadi tiba-tiba saja karna aku tahu percis sifatku ini. Setelah melakukan suatu hal langsung dibayangkan suasananya, dipikirkan langkah untuk mengatasainya bila itu sebuah masalah, jika bukan masalah maka aku akan memberikan tanggapanku , lalu aku selalu merasakannya.
Aku tak berani untuk menatap orang-orang saat berjalan, rasanya amat menakutkan dan aku menjadi malu sendiri karna mereka pasti akan menatapku jika mata ini tak sengaja berpapasan. Dan itulah masalah terbesarnya.
“Hai Tiara!“ Sapaan yang tak asing lagi ditelingaku, apalagi dengan senyumnya yang membuat wajah ini merah tak tahu apa sebab.
“Eh Ron, hai. “ Tanggapku dengan kikuk.
“Apa kau membawa benda itu?”
Benda apa? Jangan-jangan..
“Apakah yang kau maksud itu, ini?” aku mengeluarkan buku itu. Yang ia maksud pasti buku ini. Buku catatan harianku, namun aku membuatnya seperti bukan buku harian karna telah kubuat kedalam sebuah puisi.
“Kau tak bermaksud untuk membacanya, kan?” aku bertanya dengan mantap dan tegas. Haruskah kuberi ijin jika ia meminta? Aku bingung sekali. Bahkan ia tak akan mengerti dengan isinya, pun dengan perasaan diri ini padanya. Ia tak akan mungkin mengerti.
“Bolehkah? Kemarin kau memberi pinjam buku itu. Aku suka puisimu. Pemilihan kata yang bagus dan indah untuk usia kita yang masih 14 tahun, kau terbaik.”
Aku tak bisa percaya ini, apakah ia sadar saat mengatakannya? Dia bilang menyukai puisiku. Wajahku sudah seperti udang rebus saja saat itu.
“Itu hanya untuk kemarin. Sekarang kau tak boleh meminjamnya.” Aku mengabaikannya yang menatapku kesal. Aku hanya tak ingin ia tahu apa makna dari semua puisiku. Itu bisa berakibat fatal untuk mentalku.
***
Hari yang menyenangkan, walau ada sedikit kejadian. Seperti biasa, perjalanan pulang pasti jalan kaki karna tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan sampai di rumah hanya begitu saja kegiatanku, tak ada yang spesial. Aku seperti kebanyakan murid SMP lainnya, menonton televisi, membantu Ibu bila disuruh, mengerjakan PR jika ada, dan begitu seterusnya. Hanya malam yang aku tunggu.
Kalau sudah pulang mengaji aku selalu mentap langit, menghirup udara dan merasakannya. Lalu aku merasa hati ini seperti meledak. Sampai di rumah aku membuka buku dan menuliskan puisi tentang pagi tadi yang mengagetkan dan suasana malam hari yang menenangkan.
***
Kau sudah tahu masalah terbesarku, kan? Ya, dan itu terjadi tepat hari ini. Hari yang aku rasa akan menyenangkan seperti kemarin.
Aku mengenal Ron saat pelajaran bahasa Indonesia. Gurunya adalah wali kelasku. Sedikit bercerita tentang wali kelasku, ia adalah guru yang sangat tegas, perempuan yang berani mengambil resiko dan mungkin sedikit menakutkan jikalau sedang marah. Beliau mempunyai anak yang salah satunya tengah duduk di kelas 1 SMP, lebih muda dariku satu tahun. Dan anaknya yang tertua sedang berada di bangku perkuliahan. Beliau berkata bahwa anaknya itu bergabung dengan satu komunitas tentang penerbitan karya-karya mahasiswa yang ada di kampusnya. Tapi diluar kampus juga boleh untuk mengirimkan karyanya melalui e-mail.
Beliau menawarkan kepada murid-muridnya untuk mengirimkan karyanya melalui dirinya. Aku sontak senang sekali mendengar hal seperti itu, kapan lagi dipublikasikan apalagi di satu universitas yang aku impikan juga. Antusiasku terhadap puisi membuatku sangat bersemangat hari itu. Mereka yang tahu tentangku selalu mendukungku dan aku bahagia sekali.
Ron saat itu mendekatiku. Ia bangga memliki teman sepertiku, aku rasa begitu dengan hanya melihat raut wajahnya dan perkataannya. Ron terbilang teman dekatku yang selalu ada walaupun kecaman dari teman-temanku yang aku yakin mereka pasti berkata aku tak pantas selalu bersama dengannya. Tapi harus bagaimana lagi, mereka saja hanya melihatku dengan sebelah mata. Bagaimana aku bisa dekat dengan mereka? Aku tak memperdulikan lagi apa kata mereka, toh aku punya teman seperti Ron yang mengerti dan teman satu kelompok yang menyenangkan.
“Tiara aku punya satu permintaan. Kamu mau gak bikin satu bait puisi atau hanya kata-kata untuk seseorang yang dicintai?” tanyanya saat jam istirahat tiba.
“Aku tidak begitu yakin karna aku sendiri masih belajar.” Jawabku dengan bodohnya.
“Ayolah, kau kan pernah mengirimkan puisimu kepada Bu Sri untuk dipublikasikan. Dan puisinya pun bagus.” Dia menyanjungku dengan rayuannya.
“Baiklah, tapi aku perlu sebuah gambaran tentang bagaimana kisahmu dengannya.”
Aku memutuskan untuk menerimanya karna sebagai teman yang baik aku haruslah untuk membantunya untuk menyatakan perasaannya. Aku tahu, aku bodoh. Aku juga suka kepadanya. Aku suka.
Ia bercerita panjang lebar dan aku mendengarkannya dengan sedikit memberi masukan pula karna ia bercerita sekaligus memberiku pertanyaan.
Besoknya aku membawa buku harianku sekaligus dengan puisi yang ia inginkan. Ah, dasar. Ron sangat bahagia mendengarku membawa puisi itu. Tapi, aku juga senang karna aku telah mnyelesaikan puisi itu. Puisi pertama tentang kisah yang diceritakan oleh orang lain.
Kau sudah bisa menebak bagaimana jadinya? Ya, dia akhirnya pacaran dengan orang itu. Perempuan yang cantik dan sedikit pendiam. Anak dari guru Bahasa Indonesiaku.
Tak ada yang perlu diceritakan lagi. Aku merasa seperti dihujam oleh panah yang bertubi-tubi menusuk hati. Dan tubuhku bergetar dengan bayangan tentang dirinya yang tulus menemaniku. Aku tak pernah mengungkapkan perasaanku pada akhirnya. Karna aku selalu ragu, malu dan juga aku sadar akan keadaanku yang tak memungkinkan untuk mengungkapkannya.
***
“Bagaimana kau sekarang dengannya? Masihkah berkomunikasi atau hanya sekedar tegur sapa?”
Tanya orang yang tengah duduk bersamaku menikmati senja yang menenangkan.
“Aku tidak lagi berkomunikasi dengannya. Sejak saat itu ia seperti menghindariku aku berasumsi bahwa ia hanya tidak ingin pacarnya cemburu jika ia dekat dengan seorang perempuan. Terkadang berpapasan dengannya dan ia ramah seperti biasanya, menyapaku.”
Aku sudah terlalu banyak bicara dengannya. Dia Siti, temanku di SMA. Ia teman yang selalu membuatku nyaman untuk bercerita tentang masa lalu. Karna dulu aku hanya bercerita pada buku dan tak ada lagi yang tahu. Rasanya melegakan menceritakan semuanya membuat beban ini menghilang satu per satu dan berganti dengan hal lain yang tak kalah menakjubkan ceritanya.
“Kau tahu aku Tiara, aku hanya sekedar pendengar yang baik dan tak terbiasa untuk menanggapi. Aku berbanding terbalik denganmu. Tapi aku salut denganmu. Kau melupakannya dengan baik dan kau tak terlihat memiliki sebuah masalah. Aku selalu ingin sepertimu.”
Dia terlihat muram dengan nada bicaranya yang semakin pelan.
“Tak. Menjadi seorang pendengar yang baik sulit dilakukan. Dan aku hanya mengungkapkan apa yang dirasa pantas untuk diucapkan karna aku pun hanya belajar dari masa lalu. Hanya menjadi pendengar dan akhirnya aku menyesalinya. Kau tak harus menjadi sepertiku, kau akan menemukan dirimu jika kau tak hanya diam saja dan tak bergairah.”
Aku beranjak dari tempat duduk itu. Tempat yang akan aku kenang dengan suara bising dari mesin jahit ibunya.
“Aku harus pulang. Hampir gelap juga. Kita harus beristirahat bukan? Kau besok harus ikut di karnaval sekolah.” Aku melambaikan tangan sembari keluar dari pagar rumahnya dan berjalan kaki menikmati senja yang hampir pudar.
***
Hari yang panjang dan melegakan jiwa ini. Aku membuka buku usang itu dan membacanya dengan bayang-bayang dirinya waktu itu. Ron, dia pelajaran di masa laluku.
Kini aku sadar bahwa aku masih sama seperti dulu. Terlambat untuk menyadari dan terlalu malu untuk mengungkapkan.